Motor Mbah Google |
"Ayah,
pinjam motornya, saya mau ke Pekkae
"Haa,
tidak usah naik motor, naik mobil saja"
"Pinjamkan
lah, sebentar saja"
"Bagaimana
caramu mau naik motor, sedang kamu belum lancar, siapa tau nanti ada polisi
menilang"
Begitulah percakapan saya bersama ayah beberapa tahun silam, dalam bahasa Indonesia berdialek Bugis, ketika saya masih duduk di bangku kelas 1 SMP.
Begitulah percakapan saya bersama ayah beberapa tahun silam, dalam bahasa Indonesia berdialek Bugis, ketika saya masih duduk di bangku kelas 1 SMP.
Motor Suzuki berwarna merah yang selalu parkir di bawah rumah, boleh dikatakan mau dijual 100 ribu Rupiah pun, pada masa itu tidak akan ada yang mau membelinya. Karena sudah tua sekali, lebih tua dari pemiliknya. Suara yang dikeluarkan juga lebih besar dari suara pabrik penggiling padi, benar-benar tidak menyimpan simpati.
Namun, meskipun hanya
motor tua, ayah sangat menyayanginya. Tiap hari dibersihkan, dilap hingga
mengkilap. Ia juga menjadi teman setia ayah untuk menikmati udara pagi
atau sore hari.
Suatu waktu, saya
kembali meminjam si Merah, tapi lagi-lagi ayah tidak mengizinkan. Alasannya
masih sama, karena belum bisa bawa motor, memang saya meminjamnya hanya dengan
modal nekat. Saya pikir, selama bisa bawa sepeda, pasti bisa bawa motor,
yang penting kita punya keberanian, itu sudah cukup.
Saya semakin berani saat
melihat orang bawa motor, sepertinya gampang. Hanya butuh mencolokkan kontak ke
posisi ON, menetralkan gearnya sampai ada tanda hijau, tendang pedal
"kick starter", masukkan gigi satu ke arah bawah,
tarik handle gas, motor jalan. Benar-benar gampang kan? Saya sudah lulus teori. Sayang ayah
hanya akan memberikan izin dengan catatan saya juga lulus praktik, itulah SIM
(Syarat Izin Mengemudi) dari Ayah.
Suatu hari, mungkin ayah
kasihan melihat saya merengek-rengek, hatinya pun luluh dan mengizinkan untuk
mengendarai motornya. Dengan syarat, hanya boleh mengendarainya di tanah lapang
belakang rumah. Senangnya, "Akh sebentar lagi saya akan mengendarai motor
tua ini di jalan raya, dan saya akan mengurus SIM (Surat Izin Mengemudi)".
Beberapa menit kemudian ayah muncul dan meminta saya membawa motor itu ke
belakang rumah.
Demi belajar naik motor, meskipun terseok-seok, tapi saya tetap semangat menarik motor yang berat itu ke tanah lapang. Tak lama kemudian ayah memberi isyarat agar saya mulai praktik. Sambil mengawasi, Ayah berkata, "kalau sudah bisa bawa motor, nanti naik motornya di jalan raya, kalau perlu urus SIM biar bisa naik motor ke sekolah". Saya jadi semakin bersemangat. Bagaimana tidak, lumayan keren kalau benar bisa naik motor ke sekolah, meskipun hanya dengan motor tua.
Tak lama kemudian, ketika
motor sudah dalam keadaan ON, saya mainkan gas sehingga terdengar suara memekik
telinga, "bum.. buum" tiba-tiba tanpa sadar saya menginjak gear
1, dan terjadilah adegan sirkus. Motor yang sedang saya duduki melesat dengan
kecepatan cukup tinggi mendaki pohon kelapa, kemudian kembali turun. Saya pun tersungkur dan tak dapat bergerak, karena ditindih oleh si Merah Tua. Dan aksi ini telah membuat semua orang berteriak kaget.
Setelah kejadian ini, saya kehilangan keberanian untuk mengendarai motor. Juga kehilangan kesempatan mengurus SIM. Ternyata saya hanya lulus teori, tapi tidak dalam praktiknya. Dan sekarang, meskipun sudah bisa bawa motor, tapi juga belum memiliki SIM. Untuk sementara biarlah saya hanya memiliki SIM (Syarat Izin Mengemudi) dari ayah.
Setelah kejadian ini, saya kehilangan keberanian untuk mengendarai motor. Juga kehilangan kesempatan mengurus SIM. Ternyata saya hanya lulus teori, tapi tidak dalam praktiknya. Dan sekarang, meskipun sudah bisa bawa motor, tapi juga belum memiliki SIM. Untuk sementara biarlah saya hanya memiliki SIM (Syarat Izin Mengemudi) dari ayah.
Bebepppp bagaimana rasanya tertimpa motor hehehe
ReplyDeleteMakasih ya sudah berpartisipasi.
Rasanya Nano Nano deh ,, Sama-sama, bebep. Saya juga berterima kasih karena GA'nya, saya jadi ingat kisah ini.
Delete